Monday, March 10, 2008

Metode Kuno vs Metode Baru

Topik: Metode orangtua jaman dulu dalam membesarkan kita sudah kuno. Seperti apa metode yang baru?

Ini memang bukan kata2 saya, saya juga mendapat kalimat ini dari buku2 yang saya baca. Tapi saya merasa ada benarnya juga, dan makin saya pahami, makin saya setuju. Makanya saya ingin mengungkapkan di sini supaya ibu2 yang lain juga bisa ikut membaca apa yang saya baca. Sependapat atau tidak, itu terserah anda...

Pada masa lalu, anak2 dibesarkan dengan kekuasaan, ketakutan, dan rasa bersalah. Maaf jangan tersinggung, barangkali orangtua anda juga begitu dalam membesarkan anda dulu.
Anak2 dibuat merasa bersalah sehingga mereka merasa tidak pantas mendapat kasih sayang orangtuanya, dan itu membuat mereka patah semangat. Kalau masih tidak patuh, diberikanlah hukuman yang membuat anak2 takut, dan itu makin mematahkan semangat mereka. Kalau masih tidak patuh lagi? Maka ditambahlah hukuman tersebut, ini menunjukkan betapa besarnnya kekuasaan orangtua, dan semakin benci lah si anak kepada orangtuanya. Ancaman dan hukuman hanya akan membuat anak2 menentang orangtua, dan menyebabkan mereka memberontak.

Cara tersebut sudah ketinggalan jaman. Anak2 sekarang lebih cerdas, lebih sensitif.. Metode mendidik jaman dulu tersebut menciptakan anak2 yang patuh (dan takut) pada orangtuanya. Tapi sebenarnya, dalam hati mereka tetap saja mereka bisa tidak setuju dengan orangtuanya. Akhirnya, banyak anak yang sering melakukan "sesuatu" secara diam2. Habis mau gimana lagi, orangtua tidak bisa diajak komunikasi. Ini juga yang menyebabkan anak tidak bisa dekat dengan orangtuanya. Akhirnya mereka lebih dekat ke teman2 sebaya yang bisa diajak curhat. Padahal temen2nya justru bisa menjerumuskannya ke arah yang tidak benar.

Makanya saya bilang tadi, sekarang eranya metode baru, ibu2...
Bukan menciptakan anak2 yang takut dan patuh pada kita, tapi anak2 yang tetap punya kemauan tapi bersikap kooperatif. "Membesarkan anak yang mengerti perasaan orang lain dan tidak perlu diancam hukuman untuk mengikuti aturan, tapi secara spontan bertindak dan membuat keputusan dari hati yang terbuka"
Kehidupan bermoral tidak dipaksakan dari luar anak ini, tapi timbul dan dipelajari melalui kerjasama dengan orangtuanya.
Kita harus menjadi orangtua yang didatangi anak untuk dimintai dukungan, bukannya musuh yang harus ditinggal sembunyi dan dijauhi.Contoh gampangnya, kita tidak bisa hanya menyuruh anak meminta maaf kalau dia berbuat salah.. Kita sendiri yang harus memberi contoh meminta maaf. Dari apa yang dia lihat, dia akan belajar begitu caranya.
Anak akan mendengarkan, kalau kita juga mendengarkan mereka.
Biarpun saya sedang sibuk, saya selalu mendengarkan apabila anak saya datang menghampiri dan berbicara pada saya (lagi belajar juga nih!), padahal yang dibicarakannya hanya hal2 yang menurut saya tidak penting sekali. Misalnya, "mama..ini kelinci makan, mama..buku sobek.. dll". Saya sering membayangkan diri saya menjadi anak saya. Kasihan sekali kalau dia sudah capek2 datang ke ibunya, berbicara saja masih susah merangkai kata2nya.. Mentang2 ngomongnya belum jelas, lalu tidak digubris.. kasihan kan?

Namanya juga anak2, seringkali nakal dan tidak menurut. Tapi saya tidak mau menghukum mereka. Biasanya saya panggil dia, lalu saya tanya "kenapa kamu begitu", biasanya anak saya tidak menjawab karena dia memang belum lancar bicaranya (baru 18 bulan lebih), tapi saya tahu bahwa dia sudah mengerti kata2 saya. Lalu saya katakan lagi, "mama tidak suka kamu begitu.. itu tidak baik, lain kali tidak boleh begitu lagi.. lain kali kamu begini saja.." Kata2 semacam itulah, tergantung konteks kesalahan apa yang diperbuatnya.

Kalau salahnya keterlaluan? Ibu jadi marah? Boleh saja. Marah itu manusiawi sekali, anak juga perlu tahu bahwa ibunya juga manusia biasa yang bisa marah. Tapi marahnya yang terarah, Bu. Cukup memarahi sebatas kesalahannya dia saja, jangan sampai ke hal2 lain ikut disebutin, itu malah bikin si anak bingung. (Kita juga harus memberi contoh kan, gimana marah yang positif itu). Cukup katakan, "tidak boleh begini..., lain kali kamu harus begitu..."
Jangan sampai terucap kata2 "Goblok", "Tolol", "Kamu bikin ibu tidak tahan...", "Kan ibu sudah bilang tadi..." (Dua contoh terakhir akan membuat anak merasa bersalah yang negatif dan minder, merasa tidak disayang lagi.)
Kalau marah, cukup katakan dengan tegas, tidak perlu bertele2 (cuma akan membuat kita terkesan bawel dan cerewet). Dan jangan lupa, setelah marah, anak perlu dibaikin lagi. Katakan "ibu tadi marah, karena kamu....." Jadi anak tidak bingung dan tidak merasa tidak disayang. Kalau keadaan sudah membaik kembali, peluk dia, dan katakan bahwa anda tetap menyanyanginya.

Saya sering kagum lihat orang2 di negara barat sana. Komunikasi mereka dengan anak2nya bisa terbuka sekali (terbuka bukan berarti kurang ajar). Tidak seperti orang sini yang menganggap orangtuanya absolut. Padahal kita orangtua kan bisa salah juga.

1 comment:

Anonymous said...

top abiz